Jumat, 21 Maret 2014

Seni Talempong Botuang jo Ratok Silungkang Oso


   Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya, lain daerah lain pula kebiasaannya. Setiap daerah punya ciri khas, baik bahasa, seni dan budaya. Barangkali tak salah pepatah mengatakan bahwa “Bahasa menunjukkan bangsa”.
    Begitu pula negeri kita, Silungkang. Kita punya Rabona Marapulai, Pidato Adek, kain songket, sapu ijuak, ale-ale dan ulek-ulek, dan lain-lain. Kesenian Silungkang asli yang saat ini tak lagi dapat kita nikmati dan tak mustahil generasi yang saat ini berusia dibawah lima puluh tahun tidak pernah mengenal dan mendengarnya. Kesenian itu adalah “Talempong Botuang dan Ratok Silungkang Tuo” yang lebih dikenal sebagai “Marungguih”.

    Talempong Botuang dan Ratok Silungkang Tuo adalah kesenian lama Silungkang yang dahulunya dimainkan oleh kaum ibu di rumah, di sawah atau di ladang untuk sekedar menghilangkan kepenatan setelah bekerja seharian. Biasanya kesenian ini dimainkan di dangau sambil berleha-leha. Syairnya sangat didominasi oleh pantun parosaian dan pantun kerinduan pada anak dan suami tercinta nun jauh di rantau orang (diera tersebut perantau Silungkang jarang sekali yang menyertakan istri dan kalau ada – anak lelakinya – sementara si istri ditinggal di kampung dengan segala penderitaannya – lahir batin – karena tak jarang “mungkin karena terpaksa keadaan” sang suami” Taposo bauma lo” di rantau urang.
Kato rang saisuak : “Lautan sakti rantau batuah”
Perlu diketahui di zaman itu merantau di Sawahlunto atau di Solok saja (yang jaraknya tak menjadikan kita musafir, sudah dianggap merantau).

   Di era tahun 50 an “Talempong Botuang jo Ratok Silungkang Tuo”, ini pernah disosialisasikan kepada kerabat muda. Tapi sayang … umurnya pun muda. Sejak tahun 1955, kedua keseninaan itu seperti lenyap ditelan bumi.
Rupanya, nasib masih berpihak pada Silungkang. Saat ini, siapa saja yang ingin menikmati kesenian yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara ditabuh tersebut sudah dapat menikmatnya kembali. Hal ini dimungkinkan karena Silungkang masih menyisakan seorang seniman yang masih konsisten untuk tetap memelihara dan melestarikannya. Beliau itu adalah Datuak Umar Malin Parmato.
Bersama Dinas Kebudayaan, Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata Kota Sawahlunto beliau saat ini telah membina sebuah grup kesenian Talempong Botuang jo Ratok Silungkang Tuo, di Sungai Cocang. Dan sudah pula dimasukkan ke dalam pelajaran ekstra kurikuler di SD No. 13 Sungai Cocang.
Kiprahnya cukup membanggakan. Selain penampilan perdananya di Sawahlunto pada acara Pekan Seni dan Budaya, juga telah dipergelarkan pada Acara EXPO 2000 dan Pergelaran Seni dan Budaya se Sumatera Barat di Taman Budaya Padang pada tahun 2001.
Ratok berarti Ratap – maratok artinya meratap – meratapi. Karena pada mulanya kesenian ini memang diperuntukan sebagai sarana untuk meratapi atas meninggalnya seseorang. Caranya dengan menyebut-nyebut sambil mendendangkan bersama-sama oleh para karib kerabat, bako dan tetangga, semua perangai/tingkahlaku si mayit semasa hidupnya hingga wafat.
Lahirlah istilah “Ratok Pertolongan” karena apabila dalam keluarga si mayit tidak ada yang dapat melantunkan Ratok maka harus dimintai tolonglah pada orang/kelompok profesional, dengan membayar sejumlah uang – kira-kira – mungkin seperti “seksi ngangis” pada upacara prosesi kematian orang Tionghoa.
Tahun batuka, musim bagonti (Tahun bertukar, musim berganti). Misi kesenian ini yang pada mulanya hanya untuk meratapi kematian akhirnya berubah. Setelah berganti nama dengan nama menjadi “Marungguih” kesenian ini lebih identik untuk “Baibi-ibo” (mengiba-iba), meratapi nasib dan peruntungan nasib dan peruntungan baik yang tidak berpihak padanya. Kaum muda memanfaatkan Marunguih ini untuk bersenandung ria demi sekedar melepaskan beban rindu dendam yang menyesakkan dada pada sang kekasih. Ini juga perlu diketahui oleh pembaca, bahwa pada zaman itu, bagi sepasang kekasih, jangankan untuk bercengkrama – berpapasan dijalan saja sudah diterima sebagai suatu karunia yang amat besar, laksana mukjizat.
Dengan segala kebersahajaannya, kini grup Marungguih dan Talempong Botuang di Sungai Cocang yang minim peralatan, kostum dan pembinaan ini tetap mencoba untuk tampil dalam setiap event yang ada. Uluran tangan siapa saja sangat didambakan oleh grup ini, agar bisa dipoles sehingga punya nilai jual. sy
oleh : Syahruddin – Kades Silungkang Oso
Diambil dari Buletin Koba PKS (Media Komunikasi Interaktif PKS Jakarta)
Edisi Adiak Nan Jolong Tobik – Desember 2001
Catatan :
Ale-ale adalah makanan kecil/jajanan pasar seperti kue serabi tapi tidak menggunakan kuah santan. Bahan utamanya tepung beras, santan dan gula pasir sebagai pemanis. Masaknya di tempat cetakan serabi. Paling enak dengan membakar diatas bara api.

Tenun songket meniti sejarah

        
            Tenun Songket merupakan seni budaya spesifik dibelahan benua Asia yang berasal dari daratan negeri Cina, keberadaannya lebih kurang sejak 1000 tahun yang lalu. Dalam kisah perjalanan yang cukup panjang. Tenun Songket setelah itu hadir di Negeri Siam (Thailand), kemudian menyebar ke beberapa negara bagian di Semenanjung Negeri Jiran Malaysia. Seperti ke Selangor, Kelantan, Trengganu dan Brunai Darussalam kemudian menyeberang ke pulau Andalas yaitu ke Silungkang, Siak dan Palembang. Yang mana Songket Silungkang berasal dari Negara Bagian Selangor, sedangkan Songket Pandai Sikek berasal dari Silungkang dan Songket Payakumbuh berasal dari Pandai Sikek. Yang membawa ilmu songket dari Selangor ke Silungkang yaitu Baginda Ali asal Kampung Dalimo Singkek beserta hulubalang beliau yang diperkirakan pada abad ke 16 dan lebih kurang sudah sejak 400 tahun yang lalu.
        Pada tahun 1910 Songket Silungkang telah berkiprah di gelanggang Internasional pada Pekan Raya Ekonomi yang berlangsung di Brussel ibukota Belgia. Yang mendemonstrasikan cara bertenun pada waktu itu yaitu Ande BAENSAH dari Kampung Malayu, dan dikala itu hanya dua daerah penghasil Songket dari Indonesia yang ikut didalam Pekan Raya Ekonomi tersebut yaitu Silungkang dan Bali. Seperti Songket Bali itu sendiri berasal dari Negeri Sungai Gangga India. Di tahun 1920, Ismail, Kampung Dalimo Godang, adik dari Ongku Palo pergi merantau kenegeri Indo Cina, seperti Vietnam, Birma dan Laos yang membawa barang dagangan berupa kain Songket, kain Batik, kain Lurik serta kain sarung Bugis dari Makasar.

        Kemudian menyusul pada tahun 1921 yaitu Muhammad Yasin kampung Panai Empat Rumah pergi merantau ke Calcutta sebuah kota yang terletak diujung pantai timur India, membawa barang dagangan yang sejenis dengan barang dagang yang dibawa Ismail ke Indo China. Apa kata Om Frans dari Maluku, bagi kami orang Maluku belum bisa dibilang Dehafe (Elite) apabila salah satu keluarga disana belum menyimpan sekurang-kurangnya 20 helai kain Songket tenunan Silungkang. Begitu juga pakaian adat perkawinan di Minahasa Sulawesi Utara, seperti penganten wanitanya juga memakai kain Songket tenunan Silungkang, yang mana warga dari kedua daerah tersebut sangat bangga sekali memakai kain Songket tenunan Silungkang, sebagaimana bangganya masyarakat Minangkabau memaki kain sarung Bugis dari Makasar. Di era tahun 50-an, Abidin kampung Dalimo Godang berdagang kain Songket dengan mempergunakan jasa Pos dan mengirimkan dengan pos paket ke berbagai kota di Indonesia, antara lain : Padang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Makasar.
Masih pada era yang sama, Songket Silungkang hadir sebagai peserta di arena Pasar Malam dibeberapa kota besar di pulau Jawa, seperti pasar malam Gambir di Jakarta, pasar malam Andir di Bandung, pasar malam Simpang Lima di Semarang, pasar malam Alun-Alun di Yogyakarta, pasar malam Yand Mart di Surabaya.
Pada tahun 1974 diruangan Bali Room Hotel Indonesia Jakarta diadakan pameran Industri Kecil yang diselenggarakan oleh Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) pimpinan DR. Dewi Motik Pramono.
Dari sekian banyak hasil kerajinan industri kecil dari seluruh Nusantara yang dipamerkan pada waktu itu, merasa kagum dan bangga akan Nagari Silungkang, setelah melihat didalam sebuah kotak kaca, disana tersimpan sehelai kain Songket karya anak nagari yang telah berumur 234 tahun pada waktu itu, warna dasar merah hati ayam yang memakai benang Mokou Bulek Soriang tak sudah, bermotif Pucuk Rebung, yang mana kain Songket tersebut bukanlah milik kolektor, tetapi milik sebuah Museum di Den Haag Negeri Belanda.
Informasi dari seorang sarjana asal Koto Anau Solok, di era tahun 1990-an pernah mengikuti bidang studi di Canada, ibu kost dari sarjana tersebut menyimpan lima helai kain Songket tenunan Silungkang. Memang sudah selayaknya kampung Batu Manonggou dijadikan sebagai kawasan penghasil Songket di Nagari Silungkang, karena hampir disetiap rumah disana memiliki alat tenun (palantai) untuk memproduksi kain Songket sebagai Home Industri, istimewanya lagi bukan kaum wanitanya saja yang pandai bertenun Songket, tetapi kaum prianya juga mahir bertenun Songket.
Di masa lampau jika ada tamu yang berkunjung ke Silungkang untuk melihat bagaimana cara bertenun Songket, mereka diajak ke bawah rumah, karena disanalah diletakkan alat tenun, sekarang ini sudah ada dua show room kain Songket yang terletak ditepi jalan lintas Sumatera, lebih tepatnya dibawah kampung batu Manongou, disana juga tersedia alat tenun untuk mendemontrasikan cara bertenun Songket. Keunggulan dari kain Songket Silungkang selama ini, jika dipakai akan terlihat indah cemerlang, Songket Silungkang bukan saja berjaya di Bumi Merah Putih ini, bahkan juga berkibar dibeberapa negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Perancis, Swiss dan Belgia bahkan ada diantara ibu rumah tangga disana yang mengoleksi kain tenun Songket Silungkang yang telah berumur antara 100 hingga 200 tahun. Bahkan di Nagari Silungkang sendiri Songket yang seumur itu sudah sangat sulit untuk ditemui.
Begitulah kisah perjalanan sejarah ilmu bertenun songket yang datangnya dari daratan negeri Cina. (SS/DAPESA)
Sumber : files Munirtaher under SejarahSeniSilungkangTenun 

Marungui, Ratok Silungkang Tuo. Budaya Silungkang Asli Yang Terlupakan



Dimano Garubang Hilang,
Di Aia Tojun-manojun
Dimano Bujang Hilang,
Di baliak Asok Bukik Takobun.

Ka ili ka mudiak mancari Dompet
Dompet dapek kobek pinggang ilang
Dek talendo daun lado mudo
La ili kamudiak mancari ubek
Ubek dapek Nan Kanduang ilang
Ba tamba sansai badan ambo
Begitulah bunyi bait/syair Marungui
dan Ratok Silungkang Tuo

Seperti kita ketahui, Budaya Rakyat Minangkabau di setiap Nagari mempunyai ciri/kebiasaan dimasing-masing daerah, termasuk juga di Nagari Silungkang, mempunyai budaya yang sudah ada sejak zaman dahulu, sebahagian masih tetap dipakai sampai sekarang, seperti budaya kesenian Tak Tumbin (Rebana) yang dipakai atau dipertunjukkan pada setiap ada pesta Baroleh Kawin. Tapi ada satu Budaya Silungkang asli yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu yang terlupakan atau mungkin sudah dilupakan oleh masyarakat Silungkang, bahkan generasi muda Silungkang saat ini ada yang tidak tahu sama sekali tentang budaya tersebut, sehingga membuat mereka terheran-heran. Budaya tersebut adalah MARUNGUI, RATOK SILUNGKANG TUO SERTA RATOK INYIAK PORIANG. Budaya ini sangat unik sekali, karena Silungkang adalah satu-satunya yang mempunyai budaya ini di seluruh Minangkabau, sehingga mendatangkan decak kagum bagi masyarakat Minangkabau lainnya bahkan juga Negara Malaysia.
Budaya atau kesenian Marungui ini dimainkan oleh satu orang dengan cara berkelumun kain sarung, juga Ratok Silungkang Tuo dan Ratok Inyiak Poriangdimainkan oleh satu orang dengan diiringi musik Saluang dan Talempong Botuang. Dalam permainan Marungui ini, Ratok Silungkang Tuo dan Ratok Inyiak Poriang, si pemain menceritakan keadaan yang terjadi pada seseorang maupun yang dialami oleh Nagari, seperti seorang yang putus cinta, atau seseorang yang ditinggal pergi oleh orang-orang yang dicintainya, sehingga akan menimbulkan kesedihan serta keharuan bagi orang yang mendengarnya. Pada saat sekarang ini yang masih menguasai budaya ini, hanya tinggal satu orang lagi di Nagari Silungkang ini, yaitu Bapak UMAR MALIN PARMATO, Kepala Dusun Sawah Darek Desa Silungkang Oso, bahkan sampai saat ini belum ada satupun dari generasi penerus yang mewarisi budaya ini, beliau ingin sekali menurunkan atau mengajarkan budaya ini kepada generasi muda Silungkang, supaya budaya ini tetap lestari serta terpelihara dengan baik, sehingga akan menimbulkan kebanggaan bagi masyarakat Silungkang khususnya dan Sawahlunto pada umumnya, karena budaya ini adalah sebuah aset daerah yang sangat berharga sekali, dan nantinya juga bisa menunjang pariwisata di Kota Sawahlunto, terutama sekali wisatawan akan lebih mengenal lagi Nagari Silungkang, tidak hanya terkenal dengan tenunan songketnya, tapi juga dikenal sebagai Nagari yang mempunyai budaya yang sangat unik sekali.
Sewaktu SS (Suara Silungkang) berkunjung kekediaman Bapak Umar Malin Parmato di Sawah Darek, menanyakan sejak kapan budaya ini ada di Silungkang, beliau menjawab menurut cerita dari orang-orang tua dahulu, budaya ini sudah ada sejak Masyarakat Silungkang masih menganut agama Hindu dan Animisme, atau sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau. Sewaktu ditanyakan siapa yang pertama sekali memperkenalkan budaya ini, beliau tidak tahu persis siapa orang yang pertama yang memperkenalkan budaya ini, yang jelas Bapak Umar MP ini sudah menguasai budaya ini sejak tahun 1942 yang lalu. Juga waktu ditanya, dengan siapa beliau mempelajari budaya ini, Bapak Umar MP mengatakan, dia belajar dari Inyiak SAURA Kampung Talak Buai yang tinggal di Sungai Cocang pada tahun 1940.
Bapak Umar MP juga mengatakan, bahwa pada tanggal 10-18 April tahun 2005 yang lalu, budaya ini pernah ditampilkan pada “Pesta Gendang Nusantara 8” di Banda Raya Melaka Bersejarah, Negeri Sembilan Malaysia sebagai utusan dari Pemerintah Kota Sawahlunto. Kita sebagai warga Silungkang patut bangga sekali karena budaya kita sangat dikenal di negeri orang, tapi sungguh sangat ironis sekali, kenapa tidak ada dari warga Silungkang yang ingin melestarikan serta menghidupkan kembali budaya ini, sehingga nantinya akan bisa menjadi salah satu kunjungan wisatawan ke Silungkang, kalau dapat budaya ini bisa dijadikan salah satu agenda bagi kita masyarakat Silungkang untuk mengelolanya secara profesional.
Diharapkan kepada PKS Jakarta, ke depan untuk bisa memperkenalkan secara rutin budaya ini ditingkat Nasional, mungkin bisa dimulai pada acara Halal bi Halal warga Silungkang Jakarta sehabis lebaran nanti, sehingga nantinya budaya ini akan tetap lestari dan tidak akan hilang ditelan waktu. Kedepan marilah sama-sama kita jaga aset budaya kita ini yang sangat berharga seklai, sehingga budaya ini tidak akan diambil oleh daerah lain.
Sumber : files munirtaher under AdatBahasaIslamMalaysiaMinangkabau,PantunPKSSejarahSeniSilungkangTokoh 

Sejarah Tenun Silungkang


Ditempa oleh kondisi alam Silungkang yang sempit, kejam dan berbukit- bukti batu, serta sulit untuk bercocok tanam membuat orang Silungkang harus berpikir keras untuk mengatasi keadaan kehidupannya, dari keadaan itu terlahirlah orang Silungkang yang tangguh, ulet, berani menghadapi segala tantangan demi untuk kelangsungan kehidupannya. Berawal dari situ mulai orang Silungkang mencoba berwarung-warung minuman dan makanan dilingkungannya, dari berdagang minuman dan makanan setapak demi setapak mereka maju, dan mulailah berdagang barang-barang lain dari satu desa ke desa lainnya dari satu nagari ke nagari lainnya dari satu daerah ke daerat lainnya, ternyata berdagang cocok untuk orang Silungkang sehingga sekitar abad ke-12 dan ke-13 orang Silungkang sudah mulai berdagang mengarungi samudera dan sudah sampai ke semenanjung Malaka bahkan sampai di Patani di Siam (Thailand) sekarang. Di negeri Siam inilah perantau Silungkang dapat belajar bertenun dan setelah mereka pandai dan mengerti cara bertenun sewaktu mereka kembali ke Silungkang, ilmu bertenun ini mereka ajarkan kepada kaum ibu di Silungkang dan semenjak itu mulailah beberapa orang wanita Silungkang bertenun songket, pada awalnya bertenun hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya saja, kemudian mulai menerima pesanan dari tetangga setelah itu baru mulai menerima pesanan dari pembesar nagari seperti dari pembesar kerajaan dan penghulu- penghulu nagari.
Menurut informasi yang didapat sebelum periode pertumbuhan nagari Silungkang dengan Gajah Tongga Koto Piliangnya, tahun 1340 – 1375 Masehi, nenek moyang kita bertenun di daerah perbukitan di Silungkang seperti Talang Tuluih, Sungai Cocang, Batu Badoguah, dengan memakai lima proses pekerjaan :
I.       Mamogeh     :     Menghancurkan dan meluruskan serat-serat kapas mentah;
II.     Mamuli         :     menyambungkan dan memintal kapas yang sudah lurus serat­-seratnya sehingga menjadi benang tenun;
III.    Maigho         :     Memintal benang yang sudah diluruskan serat ke alat yang dinamakan igho
IV.    Pencelupan   :     Benang yang telah selesai di igho lalu dicelup, pencelupan pada waktu dahulu hanya mempergunakan bahan alam seperti kulit kayu, daun-daunan, tanah, arang. Contohnya untuk celup hitam dipergunakan arang kemiri, untuk celup abu-abu dipergunakan getah pisang untuk celup merah dipakai kulit ubi ada juga dari campuran gambir dan soda, untuk warna krem memakai daun pulasan yang direbus, untuk warna ungu pakai bunga lembayung, warna kuning pakai gambir yang dicampur daun pulasan dan banyak lagi daun-daunan lain yang dipakai sebagai bahan pencelupan, bahan pencelupan ini masih dipakai sampai tahun 1920. Jadi dahulunya proses penenunan sampai menjadi kain yang siap pakai langsung dibuat dan diusahakan sendiri oleh warga Silungkang, begitu juga dengan peralatan untuk bertentun semuanya dibuat sendiri karoknya dari benang sedangkan sisirnya dari kulit longkok tumbuhan sejenis aren.
V.     Manuriang    :     Manuriang (memintal) benang yang habis dicelup, lalu dipintal ke alat yang dinamakan buluh turiang setelah itu di ani ma ani yaitu merentangkan benang untuk menyusun benang lusi (togak) dan menyusun carak kain seterus menenun sampai menjadi kain yang dapat dipakai. 
1. PERIODE PERTENUNAN SILUNGKANG (DARI MASA KE MASA)

a. Periode 1340-1375
Ini adalah periode awal perkembangan pertenunan di Silungkang, pada periode ini, pertenunan songket Silungkang telah mulai tumbuh dan berkembang menjadi sumber ekonomi masyarakat.
Karena pada waktu itu kerajaan Pagaruyung sedang dipuncak kejayaannya tentu saja Raja dan dewan kerajaan telah pula pakai pakaian kebesaran, sebahagian pakaian kebesaran itu terbuat dari Songket, menurut sejarah yang didapat, Silungkang sebagai salah satu nagari yang mempunyai kepandaian menenun kain. Ikut menenun kain kebesaran raja Pagaruyung dan pembesar kerajaan serta kain kebesaran penghulu-penghulu di nagari-nagari di Minangkabau, sedangkan ikat pinggang (Cawat) kebesaran penghulu dan dewan istana di tenun di nagari Pitala. Oleh karena banyaknya pesanan dari istana dan penghulu- penghulu maka di tahun 1340-1375
terjadilah perkembangan pertenunan di Silungkang yang cukup baik, kalau sebelumnya hanya beberapa orang saja yang bertenun kain songket tapi semenjak itu hampir setiap rumah di Silungkang menenun kain songket. Alat tenun yang dipakai dimasa itu masih memakai alat tenun yang sangat tradisionil yaitu benang hanya direntangkan untuk satu lembar kain lalu ditenun dengan memasukkan satu lembar benang, dan digedog dengan sebatang kayu, lebih kurang seperti model alat tenun tradisionil Palembang yang sekarang masih dipakai di Palembang sebagai peraga.
Pada sekitar awal tahun 1400 Perantau Silungkang banyak yang merantau ke Tanah Jawa, Malaka bahkan sampai Campa dan Patani di kerajaan Tenggang di Thailand sekarang. Perantau Silungkang yang pulang dari Malaka, Negeri Sembilan dan Patani membawa kain-kain tenun songket hasil dari pengrajin di sana untuk sebagai contoh, perantau yang pulang itu selain membawa kainnya juga membawa teknik bertenun beserta alat tenun itu sendiri, sesampai di Silungkang maka dicontohlah alat tenun dan teknik bertenun mala motif kainnya, karena diwaktu itu alat tenun, cara bertenun dan hasil tenunan dari Negeri Sembilan ilu, lebih baik dan lebih
maju dari alat tenun dan hasil tenunan di Silungkang, semenjak itu bertambah meningkat di Silungkang walaupun bahan baku dan pencelupan masih memakai cara tradisional.
Akan ada pertanyaan tahun berapakah Silungkang mulai memakai benang impor seperti sekarang ? Belum didapat keterangan yang pasti, ada yang mengatakan sekitar tahun 1850 dibawa oleh Belanda, dan tahun berapa pula celup kimia dipakai di Silungkang juga tidak ada keterangan yang pasti, beser kemungkinan diantara tahun 1900, tapi dapat keterangan sampai tahun 1920 di Silungkang masih ada yang memakai celup alam.
b. Periode 1375-1620 M

Pada periode ini kemajuan tenun Silungkang mengalami peningkatan dan terus bertambah maju. Kain tenun songket sudah mulai diproduksi dengan berbagai motif dan corak. Selain pesanan dari istana juga memasarkan barang produksnya sampai ke Jambi, Riau, Malaka dan tanah Jawa. sejak tahun 1620 perkembangan dan produksi kain songket dan menurunnya pendapatan penduduk sewaktu Inggris menjajah Malaka dan Belanda menjajah Nederlang Indie (Indonesia sekarang), karena waktu itu Belanda dan Inggris memperketat izin keluar masuknya barang dan orang ke Malaka (Malaysia sekarang).
c. Periode 1620-1900 M

Selama 2.5 abad lamanya, pertenunan songket Silungkang tidak mendapat kemajuan yang berarti karena tekanan-tekanan dari pihak Belanda waktu itu. Perantau Silungkang tidak ada yang merantau jauh-jauh lagi, sehingga tidak ada perubahan-perubahan sama sekali dalam dunia pertenunan Silungkang. Walaupun begitu ada juga satu dua orang perantau yang sembunyi-sembunyi ke pergi Malaka pada tahun 1717 seperti Baginda Ali orang Dalimo Singkek merantau ke Malaka melalui Taluak Kuantan, karena alat transportasi waktu itu masih belum ada ditambah adanya tekanan pihak Belanda, beliau berangkat dengan berjalan kaki satu bulan perjalanan baru sampai di Taluak Kuantan. Di Taluak Kuantan beliau naik tongkang ke Malaka. Sepulangnya dari Malaka, beliau membawa pula seperangkat alat tenun yang lebih baik dan lebih maju, karena peralatan tenun itu selain lebih maju juga sesuai dengan kondisi orang Silungkang. Tenun itu berkembang juga di Silungkang.
d. Periode 1900 – 1960 M
Mulai tahun 1900 Belanda mulai melirikkan matanya terhadap pertenunan Silungkang. Belanda mulai menyediakan bahan baku untuk pertenunan seperti benang yang didatangkan dari berbagai negeri seperti Jepang, Inggris, Cina. Apakah saat itu Belanda juga mendatangkan celup kimia, entahlah. Tapi Belanda juga memodifikasi alat-alat tenun menjadi seperti yang dipakai sekarang. Pada tahun 1924 orang Silungkang diajarkan juga cara memakai celup kimia. Pada tahun 1910 dua orang Silungkang dibawa oleh Gubernur General Vanderbergstroom untuk pameran kain songket di Brussel Belgia. Menurut keterangan orang Silungkang yang pulang dari Negeri Belanda, sampai sekarang kain songket Silungkang masih tersimpan di museum negeri Belanda. Piagam dari Negeri Belanda itu juga masih tersimpan baik, juga ada di Bapak Umar Melayu dan pada Bapak Rivai Murad Dalimo Godang. Ibu-ibu yang pergi pameran itu pertama bernama Baiyah, kampung Melayu dan Bainsyah serta Dt. Mangkuto Sati, Kepala Stasiun Silungkang yang berasal dari Paninjauan Solok, beliau juga sangat peduli terhadap pertenunan Silungkang.
Medali dari Ratu Belgia
Medali dari Ratu Belgia
Dari tahun 1900 sampai hari ini kain tenun Songket Silungkang seringkali mengalami pasang naik dan pasang surut. Pada tahun 1926-1929 sewaktu harga karet mahal, kain tenun Songket Silungkang sangat laku dijual ke daerah Jambi, Koto baru, Teluk Kuantan, Palembang, Medan bahkan sampai ke Pulau Jawa. Menurut buku Konferensi Silungkang 1938 diawal abad ini jumlah tenun Songket di Silungkang mencapai 1200 buah. Pada Tanggal 1 Juli tahun 1938 dibentuk badan urusan pertenunan Silungkang dengan nama K.O.T.S (KANTOR OEROESAN TENOENAN SILOENGKANG). Tugasnya semata-mata mengurusi masalah pertenunan dan berupaya untuk meningkatkan pertenunan Silungkang. Dengan adanya badan diatas, maka pemerintah dapat bekerja sama memajukan kain tenun Silungkang.
Mulai dari tahun 1900 produksi kain tenun Silungkang tidak saja sarung songket tapi sudah beraneka ragam jenis produksi, seperti kain kafan, kain bantal kursi, bahan baju, sapu tangan, selendang, ikat kepala, ikat pinggang lelaki, sarung pucuk, dan kain bola buluah yaitu kain penutup jenazah dan lain-lain. Pada masa itu sebagai pembeli utama kain songket Silungkang selain orang Indonesia dan orang Tionghoa, ada pembesar Belanda yang akan pulang ke negaranya, mereka membeli kain songket Silungkang untuk menjadi oleh-oleh pulang ke kampungnya. Mulai tahun 1915 orang Silungkang banyak yang menjajakan kain tenun Silungkang di pelabuhan Teluk Bayur ke kapal-kapal Belanda yang akan berangkat pulang ke negerinya begitu juga di Pelabuhan Belawan Medan sedangkan di Pulau Jawa, orang Silungkang ikut berdagang di pasar-pasar malam, yang diadakan Belanda setiap tahun untuk memperingati hari ulang tahun Wiihelmina. Di samping itu di Padang dan Medan banyak pula orang Silungkang yang menjajakan kain tenun Silungkang ke rumah-rumah pembesar Belanda. Ini semua sangat mendukung pemasaran kain Songket Silungkang, ditambah dengan banyaknya promosi kain songket, kain sarung sutra, sarung pelekat yang dimuat dalam surat-surat kabar di Padang, Jakarta atau di Surabaya. Setiap kali koran itu terbit senantiasa dapat dibaca iklan “Kain
Tenunan Silungkang”. Iklan itu dipasang oleh perusahaan dagang yang besar seperti “Datuk Sati & Co; Muchtar & Co, Sulaiman Labai & Soon dan lain-lain” yang berkantor besar di Silungkang dan mempunyai cabang-cabang di Padang, Jakarta dan Surabaya. Pada waktu itu, beribu-ribu buah buku catalog / reklame disiarkan melalui pos dan perusahaan-perusahaan dagang tersebut di atas. Iklan dan promosi ini sampai ke seluruh kota-kota di Indonesia, Asia dan Eropa. Sepintas lalu, sealah-olah Silungkang adalah kota dagang yang besar disebabkan iklan-iklan dan reklame-reklame yang disebarluaskan itu. Sebenarnya perusahaan-perusahaan dagang tersebut hanyalah sebagai penyalur hasil produksi pertenunan keluarga dengan modal usaha gotong-royong.
Sehingga majulah pertenunan Silungkang di masa itu dan pada masa itu pula Belanda mulai pula melonggarkan izin bepergian, sehingga banyak pula orang Silungkang kembali merantau ke Malaya, sampai tahun 1947.

Dari tahun 1447-1950 kembali songket mengalami masa sulit, ini disebabkan oleh situasi negara diwaktu itu, dari tahun 1951 sampai tahun 1958 songket Silungkang kembali mendapat pasaran, kalau dahulu pembelinya Pembesar Belanda sekarang pembeli sudah orang Indonesia dan orang Tionghoa, dan juga bangsa Melayu. Di Melayu pemasaran masih tetap dipegang oleh perantau Silungkang. Mulai dari tahun 1940 banyak pula wanita Silungkang menerima order/pesanan dari luar Silungkang melalui pos dengan cara mereka mengirimkan profil perusahaan kepada toko-toko besar yang terkenal di seluruh Nusantara. Dari tahun 1958 sampai tahun 1960 songket kembali mengalami penurunan karena pergolakan PRRI, selain sulit membawa hasil produksi keluar dari Silungkang, juga sulit mendapatkan bahan baku terutama benang dan celup. Tapi diawal tahun 1960 pemerintah mulai pula menyuplai benang melalui Dinas Perindustrian dan Koperasi.
2. TENUN ATBM
Permulaan tenun ATBM di Silungkang ada tiga catatan yang ditemukan. Catatan pertama pada tahun 1911 Talaha Sutan Sampono pulang dari Jawa membawa 5 buah ATBM dan pada tahun 1918 pulang pula seorang pemuda Silungkang dari Bandung dan membawa dua ATBM dan sepasang alat Anian tapi sayang catatan ini tidak ada identitas siapa orang yang membawa alat itu dan tidak ada identitas penulis.
Catatan kedua yang ditulis oleh M. Dalil Sutan Pamuncak pada tahun 1921 Talaha Sutan Langik membawa 8 ATBM dari TIB Bandung dan atas Usaha Kepala Nagari Silungkang M. Yusuf  Pangulu Sati dan Talaha Sutan Langik pada tahun 1921 itu mulai dipergunakan tenun ATBM di Silungkang, tapi tidak mendapat sambutan dari masyarakat Silungkang malah mendapat reaksi negatif dengan alasan utama, berat tidak sesuai dengan fisik orang Silungkang. Pada tahun 1934 atas inisiatif dan arahan M. Yusuf Pangulu Sati Ongku Palo nagari Silungkang, dicoba merenovasi tenun ATBM yang dahulu.
Catatan ketiga pada tahun 1936 A. Rauf St. Batua orang Lokuang, adik dari Abdul Fatah Sutan Malano tamat pula dari sekolah TIB di Bandung, tapi bukanlah Institut Teknologi Bandung yang sekarang tapi (Textil inlichtingen en batik) sekolah untuk usaha tekstil dan batik. Setelah beliau tamat dari sekolah itu beliau pulang ke kampung membawa pula seperangkat Alat Tenun Bukan Mesin buatan Bandung (A.T.B.M.). Sesampai di Silungkang tidak pula ada yang berminat mengoperasikannya ATBM buatan Bandung ini, karena berat tidak cocok dengan fisik orang Silungkang akhimya tenun ini nongkrong saja. Kebetulan pulang pula pada tahun 1938 Talaha St. Rajo Langik dari pembuangan di Boven Digul.
Maka secara bersama-sama, diusahakanlah memperbaiki tenun ATBM itu kembali, dirancang untuk disesuaikan dengan fisik orang Silungkang. Tenaga ahli untuk merenovasi ATBM itu yaitu Karim Gagok don Mak Amin tukang sedangkan yang memodalinya adalah M. Yusuf Penghulu Sati, Talaha Sutan Rajo Langik, dan A. Rauf Sutan Batua. Setelah alat tenun itu berhasil direnovasi, sebagai percontohan didirikan tenun di rumah Ongku Polo di belakang kantor KAN sekarang ternyata usaha ini berhasil baik, dan sejak itu mulailah berkembang tenun ATBM di Silungkang. Jasa beliau-beliau ini patut dikenang dan dicontoh serta diteladani karena beliau ini telah berhasil menciptakan sumber ekonami baru yang dapat menghidupi rakyat Silungkang sampai hari ini. Salah satu teladan yang dapat kita ambil mengenai bagaimana cara mereka menghidupkan ekonomi di Silungkang. Mereka tidak saja mernbantu dengan uang tapi lebih utama dengan ilmu, mereka tidak memberikan ikan tapi pancing.
Setelah tabir Mangkuto Sutan pulang dari penjara buangan Belanda, beliau dengan kakaknya Penghulu Taib, mendirikan pula perusahaan tenun A.T.B.M ini, secara agak besar-besaran dan bertambah berkembanglah tenun A.T.B.M di Silungkang. Terbuka pulalah lapangan kerja baru bagi masyarakat Silungkang. Kaum ibu telah bisa bertenun songket diatas rumah, sedang kaum lelaki bertenun A.T.B.M. Kain tenun A.T.B.M sangat terkenal di waktu itu dengan hasil produksinya kain sarung dan kain baju cibo.
Pada tahan 1944 karena situasi negara diwaktu itu bahan baku untuk pertenunan tidak lagi datang dari luar negeri, maka orang Silungkang terpaksa mernbuka tali kapal dan kaus kaki untuk pengganti bahan baku benang, tali kapal itu dibuka dahulu kemudian ditenun kembali untuk jadi kain. Dan ada pula sebagian orang Silungkang yang membuat benang dari kapas dengan proses seperti yang dahulu lagi yaitu mamoge dan maigho, sehingga pada tahun 1957 masih menemukan alat untuk mamoge dan maigho. Walaupun bahan baku susah didapat tapi kain hasil produksi Silungkang laku keras dipasaran.
Sekitar tahun 1939 Talaha Sutan Rajo langit mendirikan perusahaan tenun ATBM di Surau Bentiang sedangkan A. Rauf Sutan Batua mendirikan perusahaan tenun di Lokuang dengan merek ELKA.
3. TENUN ATM
Tahun 1950 listrik telah masuk di Silungkang dengan masuknya listrik di Silungkang telah memberi inspirasi baru kepada bapak Talaha Sutan Rajo Langik untuk mendirikan perusahaan tenun ATM, tahun 1954 beliau membeli alat tenun mesin, tapi sayang karena belum ada tenaga ahlinya, tenun itu menganggur selama satu tahun. Baru setelah datang teknisi dari Jepang pada tahun 1955 A.T.M. itu bisa dioperasikan. Semenjak tahun 1955 tenun tenun ATM sudah berdiri di Silungkang.
Dari tahun 1937-1957 pertenunan Silungkang kembali berjaya, pada tahun 1958-1960 pertenunan Silungkang agak tersendat-sendat karena pergolakan PRRI sehingga pedagang Silungkang sulit untuk memasarkan basil produksinya keluar dari Silungkang. Pertengahan tahun 1960 pemerintah Republik Indonesia menerapkan Sistem Maklun di Silungkang, sistem ini memberi angin segar kepada pertenunan Silungkang. Sistem Maklun ini ialah pemerintah melalui Dinas Perindustrian memberi bahan baku dengan harga yang telah ditetapkan kepada pengrajin tenun, kemudian pengrajin memproduksinya menjadi kain sarung di Silungkang, Kain hasil Produksi itu, kembali dibeli oleh pemerintah melalui Koperasi dan Dinas Perindustrian dengan harga yang telah ditetapkan pula. Keuntungan yang didapat oleh pengrajin cukup memuaskan. Namun yang dapat jatah benang ini hanya perusahaan dan peralatan tenun yang telah terdaftar untuk mendapat jatah yang lebih banyak dan menyatukan hasil produksi maka pemuka masyarakat Silungkang beserta Wali Nagari di waktu itu mengusahakan pula berdirinya satu perusahaan gabungan yaitu GAPERSIL (Gabungan Pertenunan Silungkang). Untuk menimbulkan minat dan agar para pengusaha mau bergabung dalam GAPERSIL diadakan pelarangan bertenun di sekitar pasar, mesjid dan sekolah. Hampir semua pengusaha tenun Silungkang ikut tergabung didalam Gapersil. Tapi sayang persatuan ini tidak bertahan lama, banyak dari anggota yang tarik diri dari gabungan itu sehingga tinggal beberapa orang pengusaha saja yang masih ikut di dalam Gapersil. Saham-saham dari mereka yang tarik diri dibeli oleh Darwis Rajo Alam dan Taher Hamid kemudian nama GAPERSIL diganti, kalau dahulu Gabungan Pertenunan Silungkang sekarang berganti menjadi GAYA PERTENUNAN SILUNGKANG. Tanah tempat berdirinya Gapersil adalah milik kaum Harun al Rassyid Sungkiang dengan sistim sewa yaitu sebanyak lima ratus gantang padi setiap tahunnya.
Dari tahun 1965 pemasaran kain Silungkang kembali melemah terkecuali Gapersil, ini disebabkan persaingan prouduksi sejenis dari hasil perusahaan di pulau Jawa ditambah keadaan ekonomi negara sulit, seiring dengan itu di Indonesia terjadi pemberontakan G 30 S PKI, tapi tahun 1972 pemasaran kain Silungkang kembali membaik setelah ditemukan bahan baku dari Sutra bemberg, sehingga kain tenun Silungkang kembali laku. Pada tahun- tahun tujuh puluhan, kain Silungkang berbahan sutra bemberg Laku keras di pulaul Jawa, Medan, dan Palembang. bahkan sampai pula ke Malaysia. Pada tahun 1983 Gubernur Sumatera Barat Bapak Azwar Anar mempelopori pemasaran kain Silungkang dengan menjadikan baju sukarela (tidak baju wajib) untuk pegawai dilingkungan kantor Gubernur sehingga bertambah majulah pertenunan Silungkang waktu itu.
Pada tahun 1990 kain Silungkang kembali melemah ini disebabkan beberapa hal: pertama kita tidak dapat mempertahankan kualitas produksi; kedua kita tidak dapat mengembangkan diri; ketiga ada satu dua orang warga Silungkang yang memproduksi kain sejenis diluar Silungkang dengan mesin ATM sehingga terjadi persaingan antara kain yang diproduksi diluar Silungkang dengan kain tenun yang diproduksi di Silungkang; keempat munculnya produksi sejenis dari perusahaan besar di Pulau Jawa. Maka  akibat dari semua itu, sampai tahun 2004, kain Silungkang masih dalam keadaan terseok-seok.
Sebagai pedoman dan contoh oleh kita semua pada waktu tahun 1910-1960 tidak terjadi persaingan harga sesama kita dan juga tidak terjadi persaingan produksi karena masing-masing perusahaan menghasilkan produksi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Kaum ibu bertenun songket dengan hasil produksinya sarung Songket, gambar dinding, taplak meja, setagen, sapu tangan, selendang, gorden, dan lain-lain. Sedangkan tenun ATBM menghasilkan kain sarung, kain merekan (kain putih) dan kain cibo untuk bahan baju lurik, handuk, kain pintu injak delapan buatan A. Munaf, dan lain-lain.
Berbagai macam usaha pemerintah kota untuk menghidupkan kembali usaha pertenunan ini namun belum membuahkan hasil yang signifikan hanya satu dua orang pengusaha songket Silungkang yang berhasil memanfaatkan perancang mode dan butik yang ada. Pada saat ini bulan Juli tahun 2005 Tim penggerak PKK kota Sawahlunto, Dinas Pendidikan kota Sawahlunto, Dinas Pariwisata kota Sawahlunto, dan bahagian Pemberdayaan Perempuan kota Sawahlunto, membuat keputusan bersama yaitu diwajibkan bagi pelajar TK, SD, SMP, SMA, PNS, Pegawai BUMN dan BUMD untuk memakai baju berbahan kain tenun Silungkang pada setiap hari Jum’at. Mudah-mudahan ini akan menghidupkan kembali pertenunan di Silungkang dapat juga kami tambahkan disini, seiring dengan keputusan bersama di atas tokoh masyarakat Silungkang meminta kepada pihak Pemda Kota agar pertenunan Silungkang dibantu berupa seperangkat alat finishing kain, karena Pemda belum punya dana untuk itu melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota permohonan masyarakati Silungkang itu di teruskan kepada pemerintahan propinsi dari propinsi meneruskan ke pemerintahan pusat pada bulan Juli beberapa kali teknisi dari Bandung turun ke Silungkang meninjau keberadaan pertenunan Situngkang, juga pada tanggat 27 Juli Komisi VIIL DPR RI datang ke Silungkang untuk meninjau pertenunan Silungkang, malahan pimpinan Komisi 6 ibu Kofifa Indah Parawangsa Berjanji akan membicarakan permohonan warga Silungkang itu di dalam rapat kerja DPR dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
4. TENAGA KERJA
Pada awal berdirinya ATBM tahun 1938 pekerjanya adalah orang Silungkang sendiri kalaupun ada tenaga kerja dari luar Silungkang hanya beberapa orang saja. Dari tahun 1942 karena kemajuan pertenunan Silungkang, mulai membutuhkan tenaga kerja dari luar pertama-tama yang dipekerjakan hanya pekerja dari Lunto, Kubang dan Pianggu. Semenjak mhun 1949 – 1957 banyak datang pekerja dari Kebang Payakumbuh, Lintau, Batusangkar, Tabing Padang, Saok Lawas, Sungai Jambu dan lain-lain. Tahun 1958 – 1961 semasa pergolakan PRRI tenaga kerja dari luar boleh dikatakan tidak ada, yang ada hanya tenaga kerja dari Kubang dan Lunto. Setelah pemerintah memberlakukan KTOE tahun 1961 dan pergolakan PRRI telah pula selesai, tenaga kerja dari luar kembali datang ke Silungkang 1961 – 1966, pemasaran kain Silungkang cukup baik, tenaga kerja dari luar sangat menjadi andalan Silungkang datam berproduksi terutama tenaga kerja dari Lunto dan Kubang.
Pada tahun 1972 mulai terjadi pergeseran sistim pertenunan di Silungkang dimana pada tahun itu ada sebahagian pengusaha tenun Silungkang yang memberi peluang kepada pengrajin dari Lunto dan Kubang untuk membawa peralatan tenun ATBM ke rumahnya di Lunto dan Kubang dengan alasan untuk memudahkan pekerja, sebenarnya di dalam antar perusahaan itu sendiri terjadi persaingan untuk mendapatkan tenaga kerja, perpecahan ini dapat dibaca oleh tenaga kerja tadi, sehingga para tenaga kerja itu memanfaatkan perpecahan itu dia meminta kepada pihak pengusaha agar ia diizinkan membawa alat tenun itu kerumahnya, kalau pihak perusahaan si “A” tidak mau memberi izin, maka pekerja minta berhenti dan pindah kepada ke perusahaan lain yang mau memberinya izin untuk membawa alat tenun itu ke rumahnya. Semenjak itu mulai banyak tenun ATBM berdiri di Lunto dan Kubang, padahal sebelumnya tidak pernah ada satupun tenun di Lunto dan Kubang. Sekali seminggu pekerja dari Lunto dan Kubang datang membawa hasil produksi kepada pengusaha dan sekali seminggu pula mereka mengambil bahan baku. Hal ini tentu kurang baik untuk satu perusahaan, karena kwalitas produksi sulit dikontrol, tidak efisien bahan baku dan juga tidak efisien waktu, yang lebih parah lagi rahasia perusahaan akan tersebar luas dan juga tenaga kerja merasa lebih berada di atas angin. Pada tahun 1990 sewaktu pemasaran kain mengalami kemunduran alat tenun yang dahulu dibawa oleh pengrajin ke rumahnya di Lunto dan Kubang sekarang tertinggal saja di rumahnya, tidak dikembalikan kepada pengusaha semula, pengusahanya juga tidak menagih karena dia sendiri sudah berada di Jakarta. Langkah yang seperti itu tidak berhenti sampai disitu saja, semenjak 1978 tenun Songket pun mulai mengalami hal sama.
Sumber : munirtaher.files.wordpress.com

Kain Tenun Silungkang


             Tenun atau menenun adalah proses pembuatan kain dengan anyaman benang pakan antara benang lungsi dengan menggunakan alat tenun yang terbuat dari kayu, tongkat, bambu dan logam. Dari proses ini akan diproduksi menenun kain dan songket. Songket merupakan salah satu produk tenunan Minangkabau yang terkenal oleh masyarakat dan memiliki kualitas tinggi, bukan hanya karena keindahan kilau benang emas dalam berbagai motif yang unik tetapi juga karena fungsi sosial sebagai alat kelengkapan kostum tradisional. Songket berasal dari sungkit atau leverage yang cara untuk menambah benang pakan dan benang emas dalam berbagai pembuatan menghiasi dilakukan dengan menyulam benang lungsi. Bahan yang digunakan untuk tenun benang dari kapas, serat, sutra dan benang Macau (benang emas dan perak). Thread yang umumnya digunakan adalah impor luar negeri seperti India, Cina dan Eropa. Hiasan atau motif songket disebut Cukie, beberapa menggunakan Macau benang (benang emas dan perak), sutera dan katun berwarna. Sebuah keunikan songket Minangkabau yang lama ada adalah kombinasi dari dua atau tiga jenis benang dalam motif tunggal.


          Salah satu yang terkenal penenun songket lokal di Minangkabau adalah Silungkang desa. Silungkang desa terletak di tepi jalan raya Sumatera sekitar 95 km dari selatan-timur Kota Padang. Desa ini juga terkenal dengan seni seperti kerajinan anyaman rotan, tongkat, bambu, sapu dan menenun. Songket dan sarung tangan tenunan Silungkang sudah terkenal di Sumatera Barat. Songket Silungkang juga dibuat secara tradisional, dengan alat tenun yang mirip dengan alat tenun di Pandai sikek tapi sedikit memiliki ukuran lebih besar dari alat tenun di Pandai sikek. Tenun tradisi di daerah ini umumnya dilakukan oleh perempuan dalam rumah mereka.

             Tenun di Silungkang telah umum jenis Batabua, songket yang dihiasi tidak memenuhi bidang kain, dan dengan beberapa dasar songket sangat polos dan beberapa kotak. Motif tenunan Silungkang berasal dari lingkungan alami seperti rabuang pucuak, bunga, motif burung, sirangkak, Balah katupek dan lain-lain. Bentuknya cukup sederhana jika dibandingkan dengan songket Pandai sikek dan tidak begitu rumit dalam proses tersebut sehingga dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.
        Dalam pengembangan tenun Silungkang saat ini ada juga kombinasi antara teknik tenun ikat dengan teknik songket dengan berbagai motif songket. Bahan yang digunakan hari ini kecuali kapas, ada juga telah dihias dengan benang sutra, benang Makau dan benang kapas berwarna. The Resultsof tenun Silungkang, kecuali pakaian yang dibuat ada juga kebutuhan untuk dekorasi dan aksesori lainnya. Sekarang, songket Silungkang memiliki kualitas yang cukup baik bahan, teknik manufaktur, motif dekoratif dan pemasaran, bahkan telah diproduksi juga mesin tenun dengan berbagai motif dan harga yang relatif murah. Silungkang juga dikenal sebagai pemasok lokal tenunan benang berwarna untuk kebutuhan penenun di Sumatra Barat.

Tenun Silungkang Dalam Badai Krisis



Sebuah buku yang ditulis oleh DR. Erwiza Erman, Dkk menceritakan tentang bagaimana penenun Silungkang mampu bertahan di tengah badai krisis dari waktu ke waktu. Buku ini mengurai sejarah krisis ekonomi yang telah terjadi dari beberapa periode sejarah, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat Silungkang, 
baik terhadap kelangsungan hidup kebudayaan tenun, maupun terhadap dinamika industri pertenunan itu sendiri.
Tenun bagi orang Silungkang bukan hanya aktivitas ekonomi semata, tetapi juga sebagai produk kebudayaan. Keduanya telah berjalan seiring dengan perubahan zaman, karena tenun telah menjadi representasi dari identitas yang melekat pada budaya orang Silungkang. Sehingga ketika membicarakan Silungkang, maka tenun baik sebagai kegiatan ekonomi maupun sebagai produk kebudayaan merupakan unsur penting yang tidak dapat diabaikan.


Kehadiran buku ini telah bersinergi di tengah upaya pemerintah Kota Sawahlunto membenah diri untuk membangun kemandirian regional melalui ekonomi berbasis kerakyatan. Selain itu, apa yang tersaji dalam buku ini adalah informasi penting tentang tenun Silungkang yang penting dibaca baik oleh masyarakat Sawhlunto itu sendiri maupun para pengunjung atau penikmat kota dan budaya Sawahlunto.
Penerbitan buku ini tepat ketika Sawahlunto merefleksikan diri di akhir tahun 2010. Sebuah renungan bagi kita semua tentang usaha tenun Silungkang yang telah bertahan ratusan tahun dan mampu menjadi "The Winner" ditengah ambruknya sektor ekonomi lainnya karena krisis ekonomi. Kehadiran buku ini diharapkan dapat membangkitkan semangat dan memberi inspirasi baru dalam menghadapi tantangan kehidupan masa yang akan datang.
Buku yang dicetak oleh Verbum Publishing dengan jumlah xii, 200 halaman; 11,5x17,5 cm dengan tahun cetakan April 2011 dengan nomor ISBN: 978-979-1467-08-7