Rabu, 04 Juni 2014

Kegelisahan Penenun Songket Silungkang

Liputan6.com, Silungkang: Menenun menjadi tradisi turun temurun di Sumatra Barat. Tak heran jika banyak penenun andal tersebar di pelosok-pelosok terpencil provinsi ini. Hasil kerajinan ini pun sudah kesohor hingga ke luar negeri. Kain songket Padang dikenal indah dengan kualitas prima. Siapa nyana ternyata banyak kegundahan yang tersimpan di balik sehelai kain menawan ini. 

Kegelisahan merayapi sejumlah penenun di Desa Silungkang. Desa kecil ini berada di lereng perbukitan Sawah Lunto yang terjal dan sempit. Untuk ke sana bisa menumpang rel kereta api yang melintas di satu lajur rel. Karena itu, daerah tersebut agak terkucil. Penduduk setempat juga sulit mengembangkan alat transportasi lain. Mereka juga enggan membuka lahan pertanian karena kewalahan menjual hasil panen. 

Namun, sejak dahulu, Silungkang terkenal dengan tenunan songket. Penduduk setempat menghasilkan tenunan indah secara turun temurun. Mereka menggantungkan hidup dari memintal benang menjadi kain. 

Di satu sudut rumah warga Silungkang terlihat deretan ember yang penuh cairan warna-warni. Sejumlah orang tampak sibuk bergelut dalam tumpukan benang dan berbagai larutan pewarna itu. Begitulah satu dari sederet kegiatan rutin penduduk Silungkang. Mereka mencolok benang. Mmewarnai utas-utas benang untuk bahan tenunan kain songket. 

Menenun dilakukan tanpa mengindahkan waktu. Pencelupan warna juga dilakukan warga Silungkang pada malam hari. Mereka memilah utas-utas benang yang siap dicelup. Kemudian menggulungnya dengan alat tradisional yang sederhana menjadi kokon-kokon benang yang padat. 

Harus diakui colok benang sudah ditinggalkan para penenun. Pasalnya, banyak pabrik yang menghasilkan benang beraneka warna. Tapi, penenun Silungkang bertahan dengan tradisi colok benangnya. Semua itu dilakukan untuk mempertahankan kualitas tenunan. 

Ketika telah siap, helai demi helai benang disusun dalam lajur-lajur rapat yang disebut lusi. Proses ini disebut ani. Kemahiran penenun ditentukan kepiawaiannya mengani benang hingga tak satu benang pun kusut atau terlewat berbaris sampai mencapai 3.000 helai agar kain cukup lebar. Kemampuan yang matang lewat teknik warisan leluhur ini dapat dicapai dengan pengalaman bertahun-tahun. Motif kain yang bakal ditenun juga dirancang dengan ikatan benang putih yang siap digeser sesuai kehendak di utas-utas benang.

Selanjutnya, tangan penenun mulai beraksi. Utas demi utas benang pakan dipadatkan dalam lajur-lajur horizontal yang akhirnya membentuk helai kain dalam berbagai rupa. Sehelai kain membutuhkan waktu pengerjaan sekitar satu hingga dua minggu. Wajar bila para penenun ini menjual kainnya minimal Rp 80 ribu rupiah per helai. Meski nilai tadi sebenarnya belum sebanding dengan kerja keras dan ketelitian yang mereka keluarkan. 

Namun, apa mau dikata. Penenun Silungkang tak mempunyai pilihan lain. Mereka kerap terjebak menjual kain tenunan dengan harga yang lebih rendah dari harapan. Sebab, para penenun juga harus memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka mengakui ketiadaan modal masih menjadi kendala untuk memajukan kerajinan tradisional itu. 

Hari demi hari terus berlalu. Penduduk setempat tetap berkutat dalam derap putaran roda mesin. Tenunan mereka yang indah kian tenggelam dalam persaingan yang makin ketat. Mereka berusaha bertahan menjalankan metode tradisional di tengah keprihatinan. Dengan rajin dan tekun mereka tetap merangkai helai demi helai benang di mana jiwa mereka bergantung untuk tetap hidup. Ya, menenun menjadi profesi yang hampir tak mungkin berganti.(TNA/Tim Potret SCTV) - 

oleh : Tim Potret SCTV
Diambil dari m.liputan6.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar